Image

Berikut adalah perkembangan penting di isu ekonomi, pasar modal dan aksi korporasi, yang disarikan dari media dan laporan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Rabu, 17 Juni 2020 :
Pertumbuhan Ekonomi
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan, perekonomian RI berada dalam tekanan paling berat pada kuartal II tahun ini. Hal itu berkaitan dengan pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilakukan serentak di banyak wilayah di Indonesia pada periode April hingga Maret 2020. Dengan demikian, kuartal II tahun ini, pertumbuhan ekonomi RI diperkirakan akan mengalami kontraksi 3,1 persen.
"Meski kuartal I masih tumbuh 2,97 persen, tapi kuartal II kontraksi akan terjadi karena ini memang full PSBB diberlakukan di berbagai tempat dengan kontribusi ekonomi yangs angat besar, seperti Jakarta, Jawa tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat," jelas Sri Mulyani dalam video conference, Selasa (16/6/2020) dilansir Kompas.com.
"Dengan pembatasan sosial restriktif akan memengaruhi kinerja ekonomi kuartal II yang akan negatif 3,1 persen," jelas dia.
Kinerja perekonomian yang negatif menurut Sri Mulyani terlihat dari realisasi kinerja ekspor dan impor yang menurun tajam meski di sisi lain terjadi surplus neraca perdagangan US$2,09 miliar. Meski begitu, untuk impor bahan baku misalnya, merosot 43,03 persen (yoy). Begitu juga impor barang modal yang turun 40 persen (yoy).
Menurut Ani--sapaan akrab Sri Mulyani--hal tersebut menunjukkan adanya kemerosotan kinerja di sektor industri manufaktur. "Impor bahan baku dan barang modoal turun tajam, ini tentu akan memengaruhi kinerja dari manufaktur kita dalam tiga hingga enam bulan ke depan," jelas dia.
Namun Bendahara Negara itu mengatakan pemerintah masih berpegang pada proyeksi pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun di kisaran -0,4 persen hingga 2,3 persen. Pihaknya berharap meski mengalami tekanan cukup dalam pada kuartal II nanti, kondisi perekonomian bisa mulai pulih di kuartal III dan lebih baik lagi di kuartal IV.
"Kita masih menggunakan antara 0,4 persen hingga 2,3 persen meski poin estimate mulai mendekati 0 persen hingga 1 persen. Kita akan lihat terus karena masih melihat berbagai perkembangan," jelas dia.
SBN
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat sampai dengan 31 Mei 2020, pemerintah telah menerbitkan surat berharga negara (SBN) neto Rp369  triliun. “Posisi sampai akhir Mei 2020 SBN neto yang diterbitkan Rp369 triliun,”  ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi daring APBN KITA, Selasa (16/6) dilansir Kontan.
Pertumbuhan penerbitan SBN di tahun 2020 ini sebanyak 98,3 persen dari tahun sebelumnya yang terealisasi Rp186,0 triliun pada Mei 2019. Namun, Sri Mulyani juga mencatat terjadi adanya kontraksi pada pinjaman neto sebesar Rp 8,3 triliun atau menurun hingga 65,8% dari tahun sebelumnya di periode yang sama. “Pasar SBN sudah mulai bullish seiring dengan tren incoming bid lelang SUN sejak bulan April 2020,” tambahnya.
Adapun realisasi pasa pembiayaan investasi yang tumbuh negatif pada Mei 2020 seperti pemberian pinjaman Rp1,7 triliun. Namun angka tersebut masih tumbuh positif 37,5 persen dibandingkan dengan realisasi pemberian pinjaman pada Mei 2019 yang sebesar Rp1,2 triliun.
Selain itu, realisasi kewajiban penjaminan yakni Rp400 miliar serta realisasi pembiayaan lainnya pada Mei 2020 Rp200 miliar. “Ini angka yang terlalu kecil untuk kita sampaikan pada hari ini,” tutupnya.
IHSG
Pasar saham dalam negeri pada penutupan perdagangan Selasa kemarin (16/6/2020) positif menyambut serangkaian kata-kata positif dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Menurut Sri Mulyani, dampak virus corona (Covid-19) terhadap ekonomi Indonesia tidak separah negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara.
Pada kuartal II 2020, eks Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengungkapkan ekonomi nasional akan konstraksi 3,1 persen. "Pada kuartal II akan ada kontraksi karena PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dilakukan dan memberi kontribusi ke pertumbuhan ekonomi yang besar. Ini akan mempengaruhi kuartal II yang kita perkirakan -3,1%," katanya, di Jakarta, Selasa (16/6) dilansir CNBC Indonesia.
Melihat ramalan Sri Mulyani yang baru saja diungkapkan, pelaku pasar memandang hal tersebut jauh lebih baik ketimbang negara-negara lainnya. "Ya regional ekspektasi pertumbuhan ekonomi dari Singapura sampai Malaysia dan Thailand minus double digit, Indonesia dapat guidance nowcasting dari BKF [Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu] serta disampaikan Menkeu cuma minus 3 persen. IHSG rally," kata salah satu pelaku pasar dalam pesan WhatsApp-nya.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menutup perdagangan Selasa kemarin dengan menguat 3,53 persen ke 4.986,45. Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), sebanyak 341 saham naik, 102 saham turun dan sisanya 145 stagnan. Nilai transaksi mencapai Rp8,5 triliun. Penguatan bursa saham dunia termasuk Indonesia, juga dipicu oleh rencana bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve (The Fed) yang membeli surat utang di pasar keuangan. Selain itu, ada juga sentimen positif dari harapan penemuan obat untuk virus corona (Covid-19).
Reksadana
Ekonomi yang lesu menekan langkah korporasi yang ingin ekspansi. Obligasi korporasi baru tak lagi membanjiri pasar, manajer investasi (MI) berebut pasokan agar bisa tetap memproduksi reksa dana terproteksi.
Dilansir Bisnis.com, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat setidaknya terdapat 30 produk reksadana terproteksi dibubarkan sepanjang April. Kemudian, angkanya bertambah 38 produk untuk periode Mei hingga 16 Juni 2020.
Dengan demikian, secara total terdapat sekira 68 produk yang dibatalkan. Sementara itu, dari sisi pendaftaran, terdapat 54 produk yang tercatat pada April hingga Mei. Jumlah itu pun bertambah 24 hingga 16 Juni 2020.
Kendati secara total jumlah produk baru lebih banyak, namun tambahan produk baru pada Juni belum mampu menggantikan dana dari produk yang telah dibubarkan. Walhasil, pada Mei dana kelolaan reksadana terproteksi menyusut mengikuti penurunan secara total.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), nilai aktiva bersih (NAB) reksadana secara industri per akhir Mei 2020 tercatat sebesar Rp476,28 triliun atau turun tipis dibandingkan dengan kondisi pada akhir April yakni Rp477,65 triliun.
Namun, dana kelolaan ini tecatat sebagai peringkat kedua terendah sepanjang tahun berjalan. Rekor NAB paling rendah sepanjang 2020 ini adalah pada bulan Maret 2020 yang mana dana kelolaan industri reksa dana anjlok menjadi Rp472,77 triliun dari sebelumnya Rp525,27 triliun akibat tertekannya pasar saham.
Harga Emas
Harga emas naik tipis pada Selasa (16/6). Kekhawatiran atas wabah baru virus corona di China membalas lonjakan Wall Street didorong oleh rekor kenaikan penjualan ritel Amerika Serikat (AS) dan optimisme terhadap obat Covid-19. Melansir Reuters, harga emas spot naik 0,09 persen menjadi US$1.726,17 per troi pada pukul 2:52 malam. Emas berjangka AS menetap 0,5 persen naik pada US$1.736,5.
Asal tahu, pemerintah kota Beijing China menaikkan tingkat tanggap darurat Covid-19 menjadi II dari level III, menurut media pemerintah. Ada lebih dari 100 kasus baru yang dikonfirmasi dalam beberapa hari terakhir.
"Harga emas naik setelah Beijing tiba-tiba memperketat tindakan, dengan sekolah-sekolah ditutup dan orang-orang disarankan untuk tidak meninggalkan kota kecuali diperlukan," kata Alex Turro, ahli strategi pasar di RJO Futures dilansir Kontan.
Sebelumnya, harga emas sedikit turun, didorong oleh lonjakan Wall Street setelah data menunjukkan penjualan ritel AS naik 17,7 persen bulan lalu, kenaikan terbesar dalam catatan. Pasar saham juga mendapat dukungan dari data yang menunjukkan penurunan angka kematian Covid-19 dalam uji coba obat steroid generik.
"Setiap kali harga (emas) turun, tampaknya investor melihatnya sebagai peluang membeli," kata kepala analis ActivTrades, Carlo Alberto De Casa dalam sebuah catatan.
Secara fundamental harga emas kuat, mengingat lingkungan suku bunga rendah dan ketidakpastian atas pandemi Covid-19, kata RJ Habures, Bob Haberkorn. Bank of Japan (BoJ) mengatakan pihaknya diperkirakan akan memompa sekitar 110 triliun yen (US$ 1 triliun) ke dalam perekonomian. Suku bunga yang lebih rendah mengurangi biaya peluang memegang non-yield bullion.
Sumber :