Berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, Hari Janda Internasional atau International Widows' Day kali ini diperingati di tengah pandemi virus corona (SARS-CoV-2). Kendati begitu, yang sama adalah Hari Janda di tengah wabah Covid-19 ini masih dipenuhi oleh sejumlah stigma.
PBB menyoroti pandemi Covid-19 ini diperkirakan membuat puluhan ribu perempuan menjadi janda. Kondisi ini membuat perempuan kehilangan dukungan sosial ekonomi dan keluarga mereka. Sementara di seluruh dunia, diperkirakan terdapat sekitar 258 juta janda. Sekitar 10 persen hidup dalam kemiskinan yang ekstrem.
Berdasarkan pandemi-pandemi sebelumnya seperti HIV/AIDS dan Ebola, janda seringkali mendapatkan persoalan. PBB juga menyebut bahwa janda sangat rentan akan kemiskinan.
"Pengalaman dari pandemi masa lalu, misalnya HIV/AIDS dan Ebola, menunjukkan bahwa para janda sering kali ditolak hak warisnya, properti mereka diambil setelah kematian pasangannya, dan dapat menghadapi stigma dan diskriminasi ekstrem, sebagai 'pembawa' penyakit," tulis PBB di situs resmi mereka.
Selain pembawa penyakit, stigma lain juga banyak melekat pada seorang janda. Janda seringkali dianggap sebagai perempuan yang tidak benar, bukan perempuan baik-baik, perempuan yang tidak patuh, serta perempuan nakal dan penggoda.
Menurut pengamat sosial budaya Devie Rahmawati, stigma mengenai janda, khususnya di Indonesia muncul karena sejumlah alasan. Faktor utama adalah karena relasi kuasa yang timpang lantaran sebagian masyarakat Indonesia sangat patriarki.
"Karena di Indonesia relasi kuasi itu timpang, secara kultural Indonesia sangat patriarki. Sehingga menempatkan laki-laki sebagai pemimpin, satu-satunya yang pantas dihormati," kata Devie
Pandangan patriarki ini yang membuat masyarakat seringkali merendahkan para janda sehingga memunculkan berbagai stigma. Kehadiran sosok laki-laki dalam keluarga jadi dinilai penting, karena anggapan bahwa perempuan lemah.
"Perempuan di Indonesia yang sendirian, tanpa pendampingan dari laki-laki itu rentan dengan label-label apapun," ujar Devie.
Saat ada pendampingan suami, pandangan terhadap perempuan menjadi lebih kuat karena ada yang melindunginya. Ini pula yang berhubungan dengan stigma perempuan penggoda.
"Ketika tidak ada suami, maka perempuan lebih rentan digoda. Memperkuat stigma bandel. Jika ada suami, maka akan ada yang marah dan melindungi," ujar Devie.
Di Indonesia, Devie melihat terdapat dua jenis janda yang dipandang dengan berbeda yakni janda cerai dan janda yang ditinggal mati.
Jandi cerai lebih lekat dengan stima dibandingkan dengan janda yang ditinggal mati oleh suaminya. Janda mati lebih dihormati, apalagi jika ia memutuskan untuk tidak menikah karena dianggap masih menjaga kehormatannya. Sesuatu yang sangat dinilai oleh masyarakat Indonesia.
Untuk menghilangkan stigma mengenai janda terutama di masa pandemi, Devie menyebut pengetahuan dan pergaulan menjadi kunci.
Pendidikan di Indonesia juga mesti menekankan konsep persamaan antara perempuan dan laki-laki. Figur-figur janda dengan kehidupan yang inspiratif juga harus lebih banyak disorot untuk melawan stigma-stigma buruk tentang janda.
PBB juga merekomendasikan setiap negara untuk memberikan janda pekerjaan yang layak, upah yang sama, peluang pendidikan dan pelatihan. Menurut PBB, memberdayakan janda agar dapat menghidupi diri sendiri dan keluarga juga dapat mengatasi stigma sosial yang menciptakan pengucilan dan praktik diskriminatif yang berkembang.
"Pemerintah harus mengambil tindakan untuk menjunjung tinggi komitmen mereka untuk memastikan hak-hak para janda. ... Dan dalam konteks COVID-19, para janda tidak boleh ditinggalkan dari pekerjaan kita untuk membangun kembali dengan lebih baik," tulis PBB.
0 Comments
Asep Pudin New